IKLAN

Thursday 16 August 2018

Duet Kiai Muda Zaman Now Pimpin NU Pekalongan 2017-2022

Duet Kiai Muda Zaman Now Pimpin NU Pekalongan 2017-2022


Pekalongan, NU Online
Sidang pleno pemilihan Rais Syuriyah dan Ketua PCNU Kota Pekalongan digelar pada Konferensi Cabang (Konfercab) NU Kota Pekalongan ke-17 yang dihelat Ahad (29/10) di Gedung Aswaja. Forum ini memilih Rais Syuriyah dan Ketua PCNU yang baru, yakni KH Zakaria Ansor sebagai Rais dengan jabatan sebelumnya sebagai Wakil Rais dan H Muhtarom sebagai Ketua PCNU Pekalongan dengan jabatan sebelumnya sebagai Sekretaris PCNU.

Pemilihan berlangsung cukup singkat. Pasalnya sidang pleno kelima yang diagendakan pada malam hari ba'da Isya, berlangsung jam 17.00 WIB. Proses pemilihan dipimpin langsung oleh Ketua PWNU Jawa Tengah KH Abu Hafsin yang dimulai dengan agenda tahap pertama pemilihan anggota Ahlul Halli wal Aqdi (Ahwa).

Dari proses pemungutan suara dengan masing-masing peserta menuliskan lima nama, terpilih lima anggota Ahwa, yakni KH Zaenuri Zainal Mustofa, KH Zakaria Ansor, KH Abdul Fatah Yasran, KH Zimam Hanifun Nusuk, dan KH Ahmad Rofiq. Setelah sidang yang memakan waktu sekitar 1 jam, anggota Ahwa sepakat menunjuk KH Zakaria Ansor yang juga pengasuh Pesantren Al-Mubarok Medono sebagai Rais Syuriyah.

Usai pemilihan anggota Ahwa, sidang dilanjutkan dengan pemilihan Ketua Tanfidziyah periode 2017 - 2022. Dari proses pemilihan tahap pertama, H Muhtarom mendapat suara mutlak sebanyak 39 suara dari 45 suara yang sah. Dengan demikian, putaran kedua ditiadakan karena hanya ada satu calon yang memenuhi syarat dukungan minimal 9 suara.

H Muhtarom mengatakan, dirinya mengaku siap menerima amanah konfercab ke-17. Dalam waktu dekat dirinya bersama Rais Syuriyah terpilih dan 7 anggota formatur lainnya akan segera menggelar rapat untuk melengkapi susunan pengurus yang baru baik untuk pengurus harian dan pengurus lembaga sehingga PCNU bisa segera bergerak khususnya untuk segera menggelar musyawarah kerja (muskercab) dalam rangka menjabarkan dan menyusun skala prioritas program.

"Keputusan komisi organisasi, program dan rekomendasi untuk secepatnya akan ditindaklanjuti dengan menyusun pengurus baru dan menggelar muskercab, oleh karena itu dirinya mohon dukungan penuh dari para kiai, pengurus MWC dan ranting NU untuk merealisasikan keputusan keputusan konfercab," ujarnya.

Tampilnya KH Zakaria Ansor dan H Muhtarom merupakan wujud dari NU generasi now. Pasalnya, kedua sosok ini meskipun berusia masih cukup muda, akan tetapi pengalaman mengelola organisasi tidak perlu diragukan lagi.

KH Zakaria Ansor adalah kiai muda jebolan Pesantren Al-Anwar Sarang asuhan KH Maemoen Zubair sosok yang sangat aktif dalam kegiatan NU bahkan kemarin berhasil menghelat peringatan Hari Santri Nasional (HSN) tingkat Kota Pekalongan. Sedangkan H Muhtarom tokoh muda yang sukses dalam dunia usaha perbatikan asal Kabupaten Klaten yang memulai kiprahnya di PCNU sebagai Wakil Sekretaris, Sekretaris, dan sekarang menjadi Ketua PCNU.

Para kiai dan musyawirin berharap di tangan dingin kedua sosok muda ini, NU Kota Pekalongan dapat tampil lebih baik dan kehadirannya bisa dirasakan oleh warga nahdliyyin Kota Pekalongan terutama dalam bidang pendidikan, ekonomi, dakwah, dan kesehatan. (Abdul Muiz/Alhafiz K)
h muhtarom ketua pcnu pekalongan kh zakaria lakpesdam pekalongan lapkesdam pkl pimpinan nu pekalongan

NU Pekalongan Siap Kelola Perguruan Tinggi Aswaja

NU Pekalongan Siap Kelola Perguruan Tinggi Aswaja


Pekalongan, NU Online
Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Pekalongan sejak dua tahun terakhir ini dibuat sibuk mempersiapkan lembaga pendidikan tinggi berhaluan Ajaran Ahlus Sunnah wal Jama'ah (Aswaja) sebagai tindak lanjut amanat Konferensi Cabang (Konfercab) tahun 2013.

Ada beberapa opsi pendirian lembaga pendidikan tinggi, yakni mendirian lembaga pendidikan tinggi baru berupa rintisan lembaga dari nol atau alih kelola lembaga pendidikan tinggi yang sudah berjalan.

Dari hasil konsultasi ke Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Kementrian Riset Teknologi dan Pendidinan Tinggi (Kemenristek Dikti) serta melihat moratorium Pemerintah tentang perguruan tinggi pada tahun 2017, akhirnya PCNU Kabupaten Pekalongan memilih opsi kedua yakni alih kelola lembaga pendidikan tinggi yang sudah ada untuk dikelola dan dikembangkan menjadi Universitas Nahdatul Ulama.

"Jika tidak ada moratorium tentang penirian pendidikan tinggi, PCNU  Kabupaten Pekalongan lebih memilih opsi pertama, yakni mendirikan pendidikan tinggi mulai dari nol," ujar Sekretaris PCNU Lukman Hakim.

Dikatakan, pilihan alih kelola pendidikan tinggi ternyata prosesnya memakan waktu yang cukup lama. Pasalnya, PCNU harus tahun detail lembaga yang akan dialih kelola seperti manajemen, kondisi mahasiswa, karyawan hingga dosen.

Namun demikian, pihak PCNU Kabupaten Pekalongan merasa beruntung karena lembaga pendidikan yang akan dialih kelola ialah milik warga nahdliyyin yakni Politeknik Batik (Polbat) Pusmanu yang bermarkas di Jalan Jenderal Sudirman 29 Pekalongan.

Setelah melalui proses yang cukup panjang yang dimulai sejak bulan Pebruari tahun 2017 kemarin, akhirnya Kemenristek Dikti mengeluarkan SK pengalihan pengeloaan Politeknik Pusmanu di Kabupaten Pekalongan dari Yayasan Al Utsmani kepada Perkumpulan Nahdatul Ulama dengan nomor : 636 / KPT / 1 / 2017.

Sejak Juli tahun 2017 penerimaan mahasiswa baru dibawah naungan PCNU dengan kampus sementara di Gedung PCNU Jalan Karangdowo Kedungwuni Kabupaten Pekalongan.

Polbat Pusmanu, adalah sebuah nama yang tak asing bagi masyarakat Pekalongan dan sekitarnya. Politeknik adalah institusi pendidikan tinggi yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan professional dibidang keahlian tertentu, sedangkan nama BATIK berasal dari Usaha Kerajinan Batik Tulis dan Cap sebagai budaya masyarakat Pekalongan. 

Polbat Pusmanu berdiri di bawah naungan Yayasan Al Utsmani Pekalongan. Nama Pusmanu singkatan dari Perguruan Tinggi Usaha Sosial Masyarakat bersama Nahdlatul Ulama. Politeknik Batik Pusmanu berdiri secara resmi di bawah Yayasan Al-Utsmani pada tanggal 12 Februari 2002 berdasarkan SK Yayasan Al-Utsmani Pekalongan Nomor : C.089/YYS.AL-UTSMANI/II/02. 

Latar belakang berdirinya Politeknik Batik Pusmanu Pekalongan ini muncul dari suatu keprihatinan H. Arifin Utsman sebagai seorang pengusaha dan sosok yang telah lama berkecimpung dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, melihat tingkat pengangguran yang terus meningkat, terlebih setelah menyaksikan adanya kesenjangan yang cukup tajam antara lulusan perguruan tinggi yang bergelar sarjana dengan kompetensi dan keahlian yang tidak relevan dengan bidang kerja yang tersedia.  

Polbat Pusmanu saat ini memiliki 3 (tiga) Program Studi yaitu Teknik Batik, Manajemen Bisnis Internasional, Kesekretariatan dan Administrasi Kantor, dan Akuntansi yang diajukan ke Dirjen Dikti dan disetujui sesuai dengan SK Nomor : 641/D2/2002 tanggal 09 April 2002. (Abdul Muiz/Kendi Setiawan)

kampus nu lakpesdam batang lakpesdam jawa tengah lakpesdam pekalongan nu jateng nu pekalongan

Wednesday 15 August 2018

ngaji islam nusantara bersama : KH. Ahmad Baso

Ngaji islam nusantara bersama : KH. Ahmad Baso
Islam seperti air. Air bila ia masuk ke dalam gelas, ia akan berbentuk gelas. Bila ia masuk ke dalam teko, ia akan berbentuk teko. Begitu pula Islam. Ia akan menyesuaikan terhadap budaya dimana ia singgah. Islam tidak seperti balok padat yang tetap menjadi balok walau ditaruh di manapun.<>

Bagian pertama buku Islam Nusantara ini disajikan dengan model dialog antara seorang Kiai Afid dan santrinya. Tujuan penulisnya, Ahmad Baso, agar mudah dipahami oleh pembaca tentang apa pesan yang ingin disampaikannya. Tentang mengapa harus ada Islam Nusantara, bagaimana ia lahir, tentang silsilah dan sanadnya, dan metodologi Islam Nusantara.

Ahmad Baso mendefinisikan Islam Nusantara dengan “cara bermazhab secara qauli dan manhaji dalam beristinbath tentang Islam dari dalil-dalilnya yang disesuaikan dengan teritori, wilayah, kondisi alam, dan cara penduduk mengamalkan.” (halaman 21)

Nahdlatul Ulama (NU) sejak dulu telah merepresentasikan Islam rahmatan lil ‘alamin melalui kegiatan-kegiatan keagamaan yang mulanya berasal dari budaya setempat. Islam Nusantara, sebagaimana diterangkan dalam buku Islam Nusantara ini, bukanlah subyek yang pasif, yang asal menerima apa saja yang datang dari Arab. Melalui kegiatan tahlil, shalawatan, halal bi halal, dan sebagainya, Islam Nusatara membuktikan bahwa Islam bisa dikemas dengan cara yang buka Arab.

Islam terlahir di Arab, kemudian menyebar ke seluruh dunia, tanpa terkecuali Indonesia. Setelah para penyebar Islam datang di Indonesia, mereka menyebarkannya dengan jalan perdamaian. Melalui jalan perdagangan, perkawinan, dan bukan dengan paksaan. Tidak seperti penyebaran Islam di daerah Eropa melalui penaklukan dan peperangan. 

Di masa Wali Songo pula, Islam tersebar dengan cara damai. Untuk menarik hati umat, Wali Songo lebih menampilkan sikap yang lemah lembut. Wali Songo selalu memanfaatkan budaya lokal sebagai sarana dakwah. Misalnya Sunan Kudus yang dengan arsitektur Menara Kudus dan pelarangan menyembelih sapi bisa membuat masyarakat Hindu bersimpati. Setelah mendapat perhatian dari orang-orang yang belum Islam, di situlah Wali Songo mudah dalam menjalankan dakwahnya.

Dalam kondisi sekarang, Islam tentu menghadapi masalah yang amat pelik. Di antaranya kisruh kekerasan dan jalan dakwah yang radikal. Kelompok-kelompok garis keras masih berkeliaran di muka bumi, terutama di Timur Tengah dengan nama -yang paling terkenal— ISIS. Cara dakwah yang sama sekali bertentangan dengan metode dakwah yang dipakai oleh Wali Songo ini justeru merusak citra Islam sendiri. 

Kemunculan kelompok Islam radikal di Indonesia mengganggu berjalannya Islam Nusantara yang dipegang teguh oleh umat muslim Indonesia. Banyak ijtihad ulama Islam Nusantara yang ternyata tidak ditemukan dalam kitab-kitab ulama klasik (salaf), apalagi dalam al-Qur’an dan Hadits. Bukan berarti ijthad ulama Nusantara meninggalkan dua asas Islam tersebut, bahkan bertentangan. Yang diambil oleh ulama Islam Nusantara adalah spirit Islam, bukan bentuk luar Islam itu sendiri. Maka, selama bentuk sebuah ibadah sulit diterapkan, budaya lokal yang akan mewadahinya.

Prinsip yang dipegang Islam Nusantara adalah prinsip al-muhafadhoh alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadid al ashlah, menjaga kesalehan yang dahulu dan mengambil hal baru yang lebih baik. Oleh karena itu, Islam Nusantara tidak menjadi kaku dan tetap mempunya ciri khas. Islam Nusantara tercermin dalam kehidupan di pondok pesantren, sebagai markas sesungguhnya Nahdlatul Ulama.

Jadi sudah seharusnya Islam menjadi air yang ketika ia menempati Nusantara, ia akan berbentuk sesuai wadahnya. Islam tidak boleh dipaksakan harus sesuai dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang zaman dahulu, pada masa Rasul atau setelahnya. Karena Islam itu salih li kulli zaman wa makan, patut di segala waktu dan tempat. 

Buku ini menjadi penting karena menjelaskan bahwa Islam Indonesia mempunyai sejarahnnya sendiri. Sejarah yang sama sekali berbeda dengan sejarah Islam di Arab dan negara-negara lain. Dengan melihat apa yang terjadi pada masa Wali Songo, sebelumnya, bahkan setelahnya, kita akan memahami proses meluasnya Islam di Indonesia sehingga menjadi negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia. ***


Judul : Islam Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Nusantara, Jilid I
Penulis : Ahmad Baso
Cetaka : I, Juli 2015 
Tebal : xxiii + 370 hlm
Penerbit : Pustaka Afid Jakarta
Peresensi : Hilmi Abdillah, mahasiswa Ma’had ‘Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
Islam seperti air. Air bila ia masuk ke dalam gelas, ia akan berbentuk gelas. Bila ia masuk ke dalam teko, ia akan berbentuk teko. Begitu pula Islam. Ia akan menyesuaikan terhadap budaya dimana ia singgah. Islam tidak seperti balok padat yang tetap menjadi balok walau ditaruh di manapun.<>

Bagian pertama buku Islam Nusantara ini disajikan dengan model dialog antara seorang Kiai Afid dan santrinya. Tujuan penulisnya, Ahmad Baso, agar mudah dipahami oleh pembaca tentang apa pesan yang ingin disampaikannya. Tentang mengapa harus ada Islam Nusantara, bagaimana ia lahir, tentang silsilah dan sanadnya, dan metodologi Islam Nusantara.

Ahmad Baso mendefinisikan Islam Nusantara dengan “cara bermazhab secara qauli dan manhaji dalam beristinbath tentang Islam dari dalil-dalilnya yang disesuaikan dengan teritori, wilayah, kondisi alam, dan cara penduduk mengamalkan.” (halaman 21)

Nahdlatul Ulama (NU) sejak dulu telah merepresentasikan Islam rahmatan lil ‘alamin melalui kegiatan-kegiatan keagamaan yang mulanya berasal dari budaya setempat. Islam Nusantara, sebagaimana diterangkan dalam buku Islam Nusantara ini, bukanlah subyek yang pasif, yang asal menerima apa saja yang datang dari Arab. Melalui kegiatan tahlil, shalawatan, halal bi halal, dan sebagainya, Islam Nusatara membuktikan bahwa Islam bisa dikemas dengan cara yang buka Arab.

Islam terlahir di Arab, kemudian menyebar ke seluruh dunia, tanpa terkecuali Indonesia. Setelah para penyebar Islam datang di Indonesia, mereka menyebarkannya dengan jalan perdamaian. Melalui jalan perdagangan, perkawinan, dan bukan dengan paksaan. Tidak seperti penyebaran Islam di daerah Eropa melalui penaklukan dan peperangan. 

Di masa Wali Songo pula, Islam tersebar dengan cara damai. Untuk menarik hati umat, Wali Songo lebih menampilkan sikap yang lemah lembut. Wali Songo selalu memanfaatkan budaya lokal sebagai sarana dakwah. Misalnya Sunan Kudus yang dengan arsitektur Menara Kudus dan pelarangan menyembelih sapi bisa membuat masyarakat Hindu bersimpati. Setelah mendapat perhatian dari orang-orang yang belum Islam, di situlah Wali Songo mudah dalam menjalankan dakwahnya.

Dalam kondisi sekarang, Islam tentu menghadapi masalah yang amat pelik. Di antaranya kisruh kekerasan dan jalan dakwah yang radikal. Kelompok-kelompok garis keras masih berkeliaran di muka bumi, terutama di Timur Tengah dengan nama -yang paling terkenal— ISIS. Cara dakwah yang sama sekali bertentangan dengan metode dakwah yang dipakai oleh Wali Songo ini justeru merusak citra Islam sendiri. 

Kemunculan kelompok Islam radikal di Indonesia mengganggu berjalannya Islam Nusantara yang dipegang teguh oleh umat muslim Indonesia. Banyak ijtihad ulama Islam Nusantara yang ternyata tidak ditemukan dalam kitab-kitab ulama klasik (salaf), apalagi dalam al-Qur’an dan Hadits. Bukan berarti ijthad ulama Nusantara meninggalkan dua asas Islam tersebut, bahkan bertentangan. Yang diambil oleh ulama Islam Nusantara adalah spirit Islam, bukan bentuk luar Islam itu sendiri. Maka, selama bentuk sebuah ibadah sulit diterapkan, budaya lokal yang akan mewadahinya.

Prinsip yang dipegang Islam Nusantara adalah prinsip al-muhafadhoh alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadid al ashlah, menjaga kesalehan yang dahulu dan mengambil hal baru yang lebih baik. Oleh karena itu, Islam Nusantara tidak menjadi kaku dan tetap mempunya ciri khas. Islam Nusantara tercermin dalam kehidupan di pondok pesantren, sebagai markas sesungguhnya Nahdlatul Ulama.

Jadi sudah seharusnya Islam menjadi air yang ketika ia menempati Nusantara, ia akan berbentuk sesuai wadahnya. Islam tidak boleh dipaksakan harus sesuai dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang zaman dahulu, pada masa Rasul atau setelahnya. Karena Islam itu salih li kulli zaman wa makan, patut di segala waktu dan tempat. 

Buku ini menjadi penting karena menjelaskan bahwa Islam Indonesia mempunyai sejarahnnya sendiri. Sejarah yang sama sekali berbeda dengan sejarah Islam di Arab dan negara-negara lain. Dengan melihat apa yang terjadi pada masa Wali Songo, sebelumnya, bahkan setelahnya, kita akan memahami proses meluasnya Islam di Indonesia sehingga menjadi negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia. ***


Judul : Islam Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Nusantara, Jilid I
Penulis : Ahmad Baso
Cetaka : I, Juli 2015 
Tebal : xxiii + 370 hlm
Penerbit : Pustaka Afid Jakarta
Peresensi : Hilmi Abdillah, mahasiswa Ma’had ‘Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jombang, Jawa Timur
ansor pekalongan banser pekalongan islam rahmatal lil alamin lakpesdam pekalongan ngaji bareng KH ahmad baso ngaji islam nusantara nu pekalongan

Gus Mus: Bersyukurlah Kita Menjadi Manusia

Pati, NU Online
KHA Musthofa Bisri (Gus Mus) dalam ceramahnya di Lapangan Sepakbola Tiwongso Sokopuluhan Pucakwangi Pati Jawa Tengah, Rabu (15/8) malam, mengajak kepada ribuan jamaah agar pandai bersyukur karena sudah diciptakan Allah swt menjadi manusia. 

Kiai kharismatik yang terkenal dengan taushiyah santainya itu menyebutkan, ada empat hal yang patut direnungkan manusia.

Pertama, bersyukur karena sudah diciptakan menjadi manusia. Karena banyak orang yang krisis syukur, terlalu mengabaikan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. Seperti nikmat bernafas, kenikmatan yang diberikan Allah sangat banyak tapi terlewatkan oleh manusia. Sehingga ia lupa untuk bersyukur. 

"Nikmat menjadi manusia yang telah diberi akal pikiran dan dimuliakan oleh Allah. Kita bisa merasa, bisa berfikir, bisa mengekspresikan dengan sempurna," ucap kiai dari Leteh Rembang dengan nada khasnya yang kalem. 

Kedua, bersyukur karena Allah SWT mengangkat pemimpin Nabi Muhammad SAW sebagai panutan umat Islam. Nabi itu manusia yang mengerti manusia, manusia yang memanusiakan manusia. Sehingga Nabi Muhammad bisa mengerti dan memaklumi atas kondisi umatnya.

"Beliau seorang suri tauladan yang baik, mencontohkan terlebih dahulu setiap hal yang diperintahnya. Jangan terbalik, belum menjalankan sudah merintah," jelas Gus Mus diselingi guyonan. 

Ketiga, bersyukur menjadi orang Indonesia. Gus Mus menjelaskan jika tinggal di Indonesia lebih nikmat dibandingkan negara lain. Iklim di Indonesia lebih stabil, antara cuaca panas dan dingin itu berimbang. Berbeda jauh dengan negara-negara yang suhu derajat panasnya di atas rata-rata bahkan terbilang panas sekali. 

"Cuaca di luar negeri sangat ekstrim. Jika musim panas ya panas sekali, begitu juga saat musim dingin. Kita mestinya bersyukur ditakdirkan menjadi orang Indonesia, maka negara ini wajib kita jaga," paparnya. 

Keempat, bersyukur karena menjadi Warga Nahdlatul Ulama' (NU). Gus Mus menjelaskan, di Indonesia banyak ormas namun tidak sehebat dan sebesar NU. Karena, lanjutnya, NU dibentuk para kiai bukan untuk kepentingan organisasi namun untuk kepentingan seluruh umat manusia. 

"Kiai Hasyim Asy'ari membentuk organisasi NU itu dengan tujuan memberikan kemaslahatan kepada seluruh umat manusia. Maka wajar jika NU semakin hari semakin tumbuh subur. Bahkan saat ini Warga NU di Indonesia berjumlah sekitar 90 juta jiwa," pungkas Gus Mus. (Nur Rofi'atul Hasanah/Suhud Mas'ud/Muiz)
Gus Mus di Pati Jawa Tengah

Pati, NU Online
KHA Musthofa Bisri (Gus Mus) dalam ceramahnya di Lapangan Sepakbola Tiwongso Sokopuluhan Pucakwangi Pati Jawa Tengah, Rabu (15/8) malam, mengajak kepada ribuan jamaah agar pandai bersyukur karena sudah diciptakan Allah swt menjadi manusia. 

Kiai kharismatik yang terkenal dengan taushiyah santainya itu menyebutkan, ada empat hal yang patut direnungkan manusia.

Pertama, bersyukur karena sudah diciptakan menjadi manusia. Karena banyak orang yang krisis syukur, terlalu mengabaikan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. Seperti nikmat bernafas, kenikmatan yang diberikan Allah sangat banyak tapi terlewatkan oleh manusia. Sehingga ia lupa untuk bersyukur. 

"Nikmat menjadi manusia yang telah diberi akal pikiran dan dimuliakan oleh Allah. Kita bisa merasa, bisa berfikir, bisa mengekspresikan dengan sempurna," ucap kiai dari Leteh Rembang dengan nada khasnya yang kalem. 

Kedua, bersyukur karena Allah SWT mengangkat pemimpin Nabi Muhammad SAW sebagai panutan umat Islam. Nabi itu manusia yang mengerti manusia, manusia yang memanusiakan manusia. Sehingga Nabi Muhammad bisa mengerti dan memaklumi atas kondisi umatnya.

"Beliau seorang suri tauladan yang baik, mencontohkan terlebih dahulu setiap hal yang diperintahnya. Jangan terbalik, belum menjalankan sudah merintah," jelas Gus Mus diselingi guyonan. 

Ketiga, bersyukur menjadi orang Indonesia. Gus Mus menjelaskan jika tinggal di Indonesia lebih nikmat dibandingkan negara lain. Iklim di Indonesia lebih stabil, antara cuaca panas dan dingin itu berimbang. Berbeda jauh dengan negara-negara yang suhu derajat panasnya di atas rata-rata bahkan terbilang panas sekali. 

"Cuaca di luar negeri sangat ekstrim. Jika musim panas ya panas sekali, begitu juga saat musim dingin. Kita mestinya bersyukur ditakdirkan menjadi orang Indonesia, maka negara ini wajib kita jaga," paparnya. 

Keempat, bersyukur karena menjadi Warga Nahdlatul Ulama' (NU). Gus Mus menjelaskan, di Indonesia banyak ormas namun tidak sehebat dan sebesar NU. Karena, lanjutnya, NU dibentuk para kiai bukan untuk kepentingan organisasi namun untuk kepentingan seluruh umat manusia. 

"Kiai Hasyim Asy'ari membentuk organisasi NU itu dengan tujuan memberikan kemaslahatan kepada seluruh umat manusia. Maka wajar jika NU semakin hari semakin tumbuh subur. Bahkan saat ini Warga NU di Indonesia berjumlah sekitar 90 juta jiwa," pungkas Gus Mus. (Nur Rofi'atul Hasanah/Suhud Mas'ud/Muiz)
gus mus islam nusantara lakpesdam pekalongan nu 2019 nu kota santri nu pekalongan pekalongan

Silaturahim NU Sedunia Kukuhkan Semangat Islam Nusantara


Jakarta, NU Online
Pada tanggal 18 Agustus 2018 mendatang akan digelar Silaturahim NU Sedunia ke-17. Silaturahim dibersamakan dengan Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU) di Hotel Wihdah Towe, Biban Jarwa 1103-A Makkah Al Mukaramah.

Sekjen PBNU HA Helmy Faishal Zaini mengatakan pertemuan ini akan dihadiri oleh kader-kader NU yang berdiaspora dan berkiprah di pelbagai belahan dunia.

“Kami ingin mengukuhkan semangat Islam Nusantara sebagai jalan untuk menuju perdamaian dunia,” kata Sekjen Helmy, Rabu (15/8) di Jakarta.

Diagendakan pada pertemuan tersebut hadir sejumlah tokoh dan kiai, termasuk Rais Aam PBNU, KH Maruf Amin; Katib Aam PBNU, KH Yayha Cholil Staquf; Sekjen PBNU, Helmy Faishal Zaini; KH Subhan Makmun, KH Mujib Qulyubi, Duber Agus Miftah Abuigeriel, Sa’adullah affandy, Ahmad Fuad Abdul Wahab, H Imran Masyhudi.

Silaturahim NU Sedunia ke-17 dan MKNU bertema Islam Nusantara dari NU untuk Dunia. (Kendi Setiawan)

lakpesdam 2019 lakpesdam batang lakpesdam pekalongan NU kota pekalongan organisasi NU program lakpesdam struktur organisasi lakpesdam

Ahmad Baso: Ilmu Pesantren Tak Habis Ditulis

Ahmad Baso: Ilmu Pesantren Tak Habis Ditulis


terbitkan. Setelah menulis NU Studies, kali ini dia sedang mengerjakan "megaproyek" pribadi berjudul Pesantren Studies. Tidak tanggung-tanggung buku terakhir ini akan terbit 14 jilid.<>

Ahmad Baso lahir di Makassar dan menempuh pendidikan pesantren  di sana. Pendidikan S1-nya tidak terlalu “sukses” dan mungkin dia tidak terlalu tertarik dengan pendidikan formal. Dia sempat aktif di PP Lajnah Ta’lif wan Nasyr NU, lalu pada periode ini di PP Lakpesdam. Lima tahun kemarin ia juga aktif sebagai anggota Komnas HAM, tapi diam-diam dia masih menulis banyak buku.

Berikut perbincangan A. Khoirul Anam dari NU Online dengan Ahmad Baso di rumahnya, kawasan Ciputat Tangerang, Ahad (25/11) lalu.

Sudah terbit dua buku Pesantren Studies, rencananya berapa buku lagi akan terbit?

Yang sudah terbit itu Buku II, bagian 2a dan 2b. Rencananya ini nanti ada sembilan buku. Buku II dan III nanti masing-masing empat dan tiga buku. Jadi total nanti akan ada 14 buku.

Sebegitu banyak? Apa tidak kehabisan bahan?

Ilmu pesantren itu tidak akan habis ditulis

Kenapa terbit buku dua lebih dulu?

Al-Qur’an juga kan turunnya tidak urut, hee. 

Apa buku satu nanti merupakan teoritisasi dari keseluruhan buku yang ditulis?

Tidak juga. Ada sendiri, berbeda dengan buku-buku lainnya. Buku I ini nanti lebih ke kronologi. Misalnya akan saya tunjukkan bahwa ada satu peristiwa sejarah penting, sementara kiai pesantren yang terlibat tidak ditulis.

Bagaimana cara menulis sebanyak itu?

Menulis itu lebih ke pengalaman. Ide itu justru terkadang muncul ketika menulis. Ketika menulis, saya lima jam di depan komputer itu tidak cukup. Saya menulis satu buku dulu. Nah di tengah-tengah saya dapat tema-tema baru. Ini baru tema dan datanya belum terkumpul, dan saya sering menemukan data-datanya secara tidak sengaja. Pas saya baca buku, tiba-tiba saya menemukan data yang saya butuhkan.

Jika diperhatikan metode Anda menulis ini seperti khasyiyah, kalau bahasa kitab kuningnya. Pembahasan dimulai dengan kutipan teks, lalu dikomentari bermacam-macam, dan bisa jadi komentarnya sangat berbeda dengan teks yang dikutip. Apa begitu?

Ya memang begitu, hee, ada kritik teks juga. Di situ kita juga mengungkap data lain. Kita juga menemukan data sejarah, lalu kita interpretasi sendiri.

Pesantren Studies ini lebih ke bidang sejarah atau anthropologi?

Buku ini mengenai sekat-sekat itu. Ada sejarah, anthropologi, ada filologi juga.

Apa benar buku ini diterbitkan sendiri?

Habis tidak ada pererbit yang mau, hee. Tadinya sempat ditawarkan ke Cak Anam Duta Masyarakat, tapi percetakannya tidak siap, belum punya pengalaman untuk menerbitkan buku. Jadi diterbitkan sendiri; Pustaka Afid. Afid itu nama anak saya.

Ada donatur?

Funding begitu? Boro-boro, hee. Biaya penerbitan sendiri, dari keluarga istri. Makanya pemasaran juga dia ikut memasarkan. Pertama dicetak 1000 eksemplar dulu. Pokoknya dicetak sepunyanya dana. Rencananya terbit awal untuk modal terbit selanjutnya, dan seterusnya.

Distribusinya bagaimana?

Lewat jaringan teman-teman aja. Bahasiswa juga banyak. Misalnya ada temen di IAIN Surabaya, dia ini sepertinya dosen, yang menjual buku saya hingga seratus lebih.

Jadi intinya 14 buku itu berkisah tentang apa?

Ya saya berusaha menulis dari kacamata orang pesantren lah, beda dengan orang-orang bule. (*)
Salah seorang anak muda NU yang paling produktif menulis adalah Ahmad Baso. Sudah banyak buku dia terbitkan. Setelah menulis NU Studies, kali ini dia sedang mengerjakan "megaproyek" pribadi berjudul Pesantren Studies. Tidak tanggung-tanggung buku terakhir ini akan terbit 14 jilid.<>

Ahmad Baso lahir di Makassar dan menempuh pendidikan pesantren  di sana. Pendidikan S1-nya tidak terlalu “sukses” dan mungkin dia tidak terlalu tertarik dengan pendidikan formal. Dia sempat aktif di PP Lajnah Ta’lif wan Nasyr NU, lalu pada periode ini di PP Lakpesdam. Lima tahun kemarin ia juga aktif sebagai anggota Komnas HAM, tapi diam-diam dia masih menulis banyak buku.

Berikut perbincangan A. Khoirul Anam dari NU Online dengan Ahmad Baso di rumahnya, kawasan Ciputat Tangerang, Ahad (25/11) lalu.

Sudah terbit dua buku Pesantren Studies, rencananya berapa buku lagi akan terbit?

Yang sudah terbit itu Buku II, bagian 2a dan 2b. Rencananya ini nanti ada sembilan buku. Buku II dan III nanti masing-masing empat dan tiga buku. Jadi total nanti akan ada 14 buku.

Sebegitu banyak? Apa tidak kehabisan bahan?

Ilmu pesantren itu tidak akan habis ditulis

Kenapa terbit buku dua lebih dulu?

Al-Qur’an juga kan turunnya tidak urut, hee. 

Apa buku satu nanti merupakan teoritisasi dari keseluruhan buku yang ditulis?

Tidak juga. Ada sendiri, berbeda dengan buku-buku lainnya. Buku I ini nanti lebih ke kronologi. Misalnya akan saya tunjukkan bahwa ada satu peristiwa sejarah penting, sementara kiai pesantren yang terlibat tidak ditulis.

Bagaimana cara menulis sebanyak itu?

Menulis itu lebih ke pengalaman. Ide itu justru terkadang muncul ketika menulis. Ketika menulis, saya lima jam di depan komputer itu tidak cukup. Saya menulis satu buku dulu. Nah di tengah-tengah saya dapat tema-tema baru. Ini baru tema dan datanya belum terkumpul, dan saya sering menemukan data-datanya secara tidak sengaja. Pas saya baca buku, tiba-tiba saya menemukan data yang saya butuhkan.

Jika diperhatikan metode Anda menulis ini seperti khasyiyah, kalau bahasa kitab kuningnya. Pembahasan dimulai dengan kutipan teks, lalu dikomentari bermacam-macam, dan bisa jadi komentarnya sangat berbeda dengan teks yang dikutip. Apa begitu?

Ya memang begitu, hee, ada kritik teks juga. Di situ kita juga mengungkap data lain. Kita juga menemukan data sejarah, lalu kita interpretasi sendiri.

Pesantren Studies ini lebih ke bidang sejarah atau anthropologi?

Buku ini mengenai sekat-sekat itu. Ada sejarah, anthropologi, ada filologi juga.

Apa benar buku ini diterbitkan sendiri?

Habis tidak ada pererbit yang mau, hee. Tadinya sempat ditawarkan ke Cak Anam Duta Masyarakat, tapi percetakannya tidak siap, belum punya pengalaman untuk menerbitkan buku. Jadi diterbitkan sendiri; Pustaka Afid. Afid itu nama anak saya.

Ada donatur?

Funding begitu? Boro-boro, hee. Biaya penerbitan sendiri, dari keluarga istri. Makanya pemasaran juga dia ikut memasarkan. Pertama dicetak 1000 eksemplar dulu. Pokoknya dicetak sepunyanya dana. Rencananya terbit awal untuk modal terbit selanjutnya, dan seterusnya.

Distribusinya bagaimana?

Lewat jaringan teman-teman aja. Bahasiswa juga banyak. Misalnya ada temen di IAIN Surabaya, dia ini sepertinya dosen, yang menjual buku saya hingga seratus lebih.

Jadi intinya 14 buku itu berkisah tentang apa?

Ya saya berusaha menulis dari kacamata orang pesantren lah, beda dengan orang-orang bule. (*)
kota pekalongan lakpesdam pc pekalongan lakpesdam pekalongan nahdlatul ulama pekalongan pesantren nu

Tuesday 14 August 2018

Lakpesdam NU Tawarkan Wacana Agama Antikorupsi

Lakpesdam NU Tawarkan Wacana Agama Antikorupsi


Jakarta, NU Online
Lakpesdam NU membuka wacana keagamaan yang bernafas antikorupsi. Wacana keagamaan ini akan digelontorkan dalam diskusi dengan tajuk, “Meneguhkan Gerakan Agama Antikorupsi” di aula lantai delapan Gedung PBNU pada pukul 12.00-16-00, Kamis 22 November 2012.<>

Hal ini disampaikan oleh Abi S. Nugroho, seorang staf Kajian dan Penelitian Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya, Lakpesdam NU kepada NU Online di lantai lima Gedung PBNU usia pembukaan diskusi terbatas forum media NU, Selasa (20/11) sore.

Diskusi tersebut menghadirkan sejumlah pembicara. Mereka menurut agendanya adalah H Asad Said Ali, wakil ketua umum PBNU, Marsudi Syuhud, Sekjen PBNU, Benny Susetyo, Sekjen Waligereja Indonesia, dan Wawan Wiratma, ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia, Matakin.

“Wacana agama dengan semangat antikorupsi itu perlu digemakan agar menjadi kesadaran penuh di tengah masyarakat,” kata Abi.

Menurutnya, wacana keagamaan ini dimunculkan berdasarkan pengamatan Lakpesdam NU terhadap persoalan budaya korupsi yang telah mengakar di kalangan elit pemerintah. Wacana ini diharapkan menyebar luas ke segala lapisan masyarakat.

Budaya korupsi tidak hanya terjadi di kalangan elit pemerintah. Abi menambahkan bahwa perilaku budaya korupsi sudah merembes ke lapisan masyarakat. Praktik korupsi dengan aneka modusnya sudah masuk ke lapisan bawah masyarakat.

Wacana keagamaan ini dinilai strategis dalam memerangi korupsi. Karena, wacana ini akan digaungkan oleh para kiai, dai, dan para pemuka agama yang ada di Indonesia sebagai pihak terdepan dalam hubungan sosial, tutup staf staf Kajian dan Penelitian Lakpesdam NU.

Redaktur: Mukafi Niam
Penulis   : Alhafiz Kurniawan
islam nusantara lakpesdam agenda kegiatan lakpesdam nu lakpesdam pekalongan nu pekalongan ulama pekalongan

Lakpesdam, Pilar Keempat NU?

Lakpesdam, Pilar Keempat NU?


Keberadaan Lakpesdam merupakan upaya implementasi gagasan kembali ke Khittah yang diamanahkan mukatamar ke-27 NU di Situbondo. Munculnya Lakpesdam merupakan upaya meminimalisir NU yang terlalu politis sehingga agenda sosial-keagamaan NU terabaikan.
<>
Pada Munas Alim Ulama Situbondo itu memberikan pesan untuk mengembalikan peran NU pada Khitta 1926, yakni mengarahkan peran dan program NU pada usaha pengembangan masyarakat, khususnya warga NU.

Pada muktamar NU di Situbondo tersebut KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai Ketua Umum PBNU. Ia langsung menyiapkan tim untuk merumuskan konsep pengembangan sumberdaya manusia (PSDM). Saat itu ada empat alasan mengapa konsep PSDM itu penting. Petama; kualaitas SDM rata-rata penduduk Indonesia masih rendah dan perlu ditingkatkan.

Kedua; perlu dilakukan peniingkatkan dan perluasan peran serta NU dalam upaya pengembangan SDM sebagai salah satu khidmahnya. Ketiga; peran serta NU dalam upaya PSDM perlu didasarkan atas suatu konsepsi dan dituangkan dalam program operasional yang jelas. Keempat; peningkatan kualitas SDM menempati kedudukan yang strategis dalam peningkatan kualitas masyarakat.

Konsep PSDM itu merupakan perpanjangan dari konsep atau ajaran Ahlusunnah wal Jamaah, Khittah NU dan Mabadi Khaira Ummah. Ketiga ajaran itu adalah pilar NU dan diharapkan konsep PSDM itu adalah pilar lanjutannya, atau pilar ke-4, yakni mencakup adanya acuan ikhtiar aktualisasi terhadap muatan-muatan yang terkandung dalam ketiga pilar sebelumnya dalam hubungannya dengan program PSDM NU.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Lakpesdam atau Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU ini, Abdullah Alawi dari NU Online mewawancarai Ketua Pengurus Pusat Lakpesdam Yahya Ma’sum, di kantor PP Lakpesdam, Jl. H. Ramli No. 20 A, Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu, (12/10) lalu. Berikut petikannya:

Posisi Lakpesdam menurut buku 20 Tahun Lakpesdam disebut sebagai pilar keempat NU. Bagaimana penjelasannya?

Ya, maksudnya, di NU itu kan ada berbagai fungsi-fungsi yang harus dilakukan. Nah, fungsi Lakpesdam itu mandatorinya bagaimana mengembangkan SDM-nya NU. Kalau bahasanya Pak Hasyim Muzadi, itu bagaimana memintarkan NU, dengan pengertian yang dilakukan itu memang lebih pada pendidikan atau upaya pencerdasan melalui kegiatan-kegiatan yang  tidak resmi sekolah. Kalau sekolah Ma’arif ya lewat proses-proses belajar dalam pengertian luas. Intinya membangun kesadaran kritis kepada warga NU untuk memahami hak-haknya sebagai warga NU, sebagai warga bangsa. Dan kemudian bisa melakukan, mengoptimalkan untuk mendapatkan hak-hak itu. Itulah yang disebut dengan pilar keempat NU.

Yang kedua, adalah berusaha bagaimana membangun pemahaman yang benar tentang gerakan NU sesuai khittah 1926 karena ini lahir sebenarnya berangkat dari khittah 1926 itu. Karena mandatorinya itu lembaga yang secara khusus, maka Gus Dur mendirikan lembaga ini. Jadi, mencakup pencerdasan, untuk memahami hak-haknya termasuk memahami  tentang, kita itu sudah nggak berpolitik. Kita lebih fokus kepada gerakan-gerakan kemanusiaan yang diutamakan.

Karena itu, sesungguhnya keberadaan NU pada awalnya seperti itu. Mulai dari adanya Nahdlatut Tujjar, ada Tasywirul Afkar. Itu semua yang mendasari lahirnya Lakpesdam. Nah, kira-kira begitu.

Bagaimana keadaan warga NU dalam sebelum dan sesudah Lakpesdam didirikan?

Sebenarnya, kondisi sekarang bukan mutlak Lakpesdam ya. Lakpesdam hanya satu skrup, pilar tadi itu saja. Tapi bahwa gerakan kembali ke khittah 26 yang dicanangkan oleh tokoh-tokoh termasuk Gus Dur waktu itu ya menurut saya, kondisinya menjadi lebih baik dibanding pada saat sebelum diproklamirkannya khittah 1926 karena dimensi warga NU sekarang ini sangat luas latar belakangnya, keahliannya keberadaannya di mana-mana dan kemudian setelah Gus Dur membawa NU ini adalah orang kemudian menyatakan saya juga NU yang sebelumnya orang nggak berani pada waktu itu. Apalagi setelah Gus Dur menjadi presiden. Setelah dihimpun-himpun begitu, ternyata banyak warga NU.

Dulu pernah terjadi kekuatiran. Pada saat Gus Dur pertama kali naik, kita nggak punya uang, nggak punya orang, siapa yang jadi ini, sekarang banyak. Anda kalau tahu jaringannya teman-teman kita  yang belajar di luar negeri, yang masuk namanya PCINU, pengurus maupun anggota ataupun yang tidak masuk organisasi itu yang NU itu luar biasa jumlahnya dan kepintarannya maca-macam. Dan sekarang beberapa mereka sudah kembali ke Indonesia mereka establish di tempatnya secara profesional masing-masing. Ada dosen, ada di birokrat,

Jadi menuurut saya, itu semua adalah pengaruh besar dari dicanangkan kembali khittah 26. Itu bukan berarti murni satu-satunya Lakpesdam. Tapi banyak orang berkontribusi. Yang menjadi kontribusi Lakpesdam itu ya berusaha semaksimal mungkin bagaimana mewujudkan khittah 26 itu dengan bekerja di lapangan. Nah, itu. Makanya kita dikenal banyak pendampingan, pengorganisasian di tingkat basis, pendampingan masyarakat. Lembaga-lembaga lain belum memasuki , Lakpesdam sudah. Selain itu, melakukan training-training kader penggerak. Itu semua dilakukan Lakpesdam. Sampai kita masuk wilayah bagaimana membangun pemahaman, keterampilan di dalam rangka perdamaian.

Nah, yang begitu-begitu itu kita bekerja secara simultan. Itu semua diinspirasi oleh tadi itu, kita harus bergerak lebih kepada kemanusiaan supaya dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Aspek itu yang berekembang sekarang sampai kita konsen di dalam pemberdayaan orang miskin dengan berbagai program kita. Di lapangan sekarang perkembangannya kan lembaga-lembaga lain juga bergerak cepat periode yang sekarang ini. Di NU saya lihat, semua lembaga bergerak.

Jad, khittah 26 keberhasilannya menurut saya ya kontribusinya semua orang, komponen stakeholder sehingga dunia melihat NU masih punya kekuatan.

Itu yang di luar negeri. Dan hanya sebagian kecil. Secara umum kondisi warga NU sekarang itu bagaiamana?

Yang jelas bahwa masyarakat kita secara umum di Indonesia ini kan belum sepenuhnya menikmati kesejahteraan. Belum sepenuhnya mendapatkan akses untuk hidup sejahtera. Di bidang pelayanan publik, misalnya masih belum semuanya mendapatkan akses karena berbagai hal. Yang paling penting adalah pemahaman mereka tentang hak-hak itu tadi. Makanya kemudian yang diusahakan Lakpesdam bagaimana kebutuhann-kebutuhan seperti ini. Nah, terjadilah atau dilakukanlah pendidikan rakyat, pendidikan atau sekolah rakyat, atau kesehatan, pusat pembelajaran masyarakat.

Jadi, itu semua pengkaderan bahwa di tingkat basis yang paling rendah di pedesaan belum sepenuhnya bisa mengakses apa yang sudah dianggap oleh pemerintah terbuka macam-macam. Itu berhenti kepada kelompok-kelompok tertentu. Tetapi masyarakat di bawah itu masih ketinggalan, masih banyak masyarakat yang terkategorikan belum sempat menikmati pembangunan.

Jumlah mereka itu banyak. Kalau anggota NU 70 jutaan, sebagian besar warga NU di sana. Tapi mungkin tidak separah dulu ya. Tapi bahwa masih tertinggal dari kelompok yang lain, iya.

Nah, dari situ, tugas Lakpesdam melakukan pemberdayaan. Konsep pemberdayaan yang digunakan Lakpesdam itu seperti apa, misalnya dikaitkan dengan nilai-nilai Ahlus Sunnah wal-Jamaah atau ke-NU-an?

Di dalam khittah 1926 itu kan ada namanya Mabadi Khoira Umah. Mabadi Khoiru Umah itu kan norma-norma, etik-etik, atau moral-moral yang perlu dipegangi dalam upaya membangun masyarakat. Basisnya kita menggunakan itu. Di situ ada musyawarah, ada beberapa dimensi di Mabadi Khoiru Umah. Itu menjadi bagian dari yang melandasi bagaimana membangun umat NU. Yang kedua, karena kita sejak dulu itu bergerak membangun pemikiran keagamaan terbuka sesuai nilai-nilai khitah 26 itu yang ada toleran, tasamuh, macam itu juga menjadi bagian cara kita mengembangkan berbagai pendekatan pemcahan masalah jangan sampai kita itu tidak melakukan nilai empat di Mabadi Khoiru Umah; ada moderat, ada toleran, i’tidal, amar ma’ruf nahi munkar. Saya konsen amar jangan samapai ini jadi pisau yang salah seperti dilakukan kelompok lain, kita dianggap meninggalkan nahi munkar, padahal bagi kita, nahi munkar itu dianggap sebagai dari amar ma’ruf.

Tapi sepertinya nahi munkar itu seperti memakai kekerasan macam-mcam. Itu yang saya bilang kita harus hati-hati dengan istilah amar ma’ruf nahi munkar karena itu kita tak boleh terlepas dari dimensi-dimensi Aswaja itu menjjadi kerangka berpikir di kita bekerja sehingga kita membuka yang datang, kita bekerja dengan siapa pun, menerima dari mana pun, tapi kita punya filter. Kita tidak main di kendangnya orang lain, tetapi kita memerlukan suport-suport orang lian siapa pun dari manapun, tapi kita filter. Filter itu kadang-kadang menjadi perdebatan ada yang pro dan tidak. Dengan segala konsekuensinya da yang bilang Lakpesdam itu sudah donor minded begitu. Nggak ada persoalan. Biarin aja. Kita membuktikan siapa yang mandiri, siapa tidak.

Konsep Lakpesdam yang besar seperti itu, dikaitkan dengan aplikasi ke program secara praktis bagaimana?

Jadi, berdasarkan ajaran-ajaran di khittah 26, ada Aswaja, ada Mabadi Khoira Umah itu lalu kemudian kita juga menggunakan arah basis yang kita sebut dengan kemandirian dalam pengertian cara berpikir, ekonomi; kalau bisa, mandiri bersikap, politik. Karena itu maka membangun kecerdasan penting dan pertama. Seluruh rogram-program kita, diarahkan ke sana. Pertama kita melakukan program pemenuhan kebutuhan yang kita sebut dengan program yang disebut dengan program pragmatis. Dari situ kita masuk program strategis. In program praktis. Kalau kita sudah ngomong program strategis, di situ itu di dalamnya sudah mengandung unsur-unsur bagaiamana kecerdasan dan kemandirian itu menjadi alat, sebagai dasar untuk melakukan advokasi.

Jadi, advokasi itu ya di tingkat strategis, nggak lagi praktis. Makanya dimulai biasanya kita memberikan pengetahuan. Terus kalau ada kegiatan-kegiatan ekonomi itu menjadi bagian dari pilot project, alat-alat, sebagai media saja dengan program itu, masyarakatnya mau datang, mau berorganisasi, mendapat pengalaman, memahami isu-isunya. Baru setelah itu dibawa ke program strategis: advokasi, jalan sendiri mereka. Contohnya yang sekarang ini dengan PNPM Peduli. Program ini secara kasar, orang-orang kadang melihatnya ini mengentaskan kemiskinan. Tadi program yang kita pakai adalah program pengentasan kemiskinan berbasis kepada masyarakat. Jadi pengurangan kemiskinan berbasis kepada masyarkaat.

Karena itu maka supaya menguatkan sumber daya NU, melalui program ini sehingga dia menyadari persoalan-persoalan hidup dia kemudian dia mengorganisir diri. Baru masuk aspek-aspek ekonomi. Dia diarahkan untuk berjejaring dengan pihak-pihak lain. Ketika semua itu terjadi, dari segi teoritis itu sudah selesai. Artinya satu tahap sudah selesai, masyarakat sudah punya jaringan. Sudah punya organisasi di tingkat lapangan. Kemudian, secara perlahan, nanti periode-periode berikutnya, masuk ke wilayah strategis ini; melakukan advokasi-advokasi sehingga kalau ada advokasi atau ada diskusi mengenai perundang-undngan apa, isu apa, perwakilan-perwakilan dari masyarakat yang dibina ini sudah bisa. Lakpesdam kemudian fungsinya sebagai pendorong saja.

Program-progrma lain juga begitu. Kalau yang PNPM ini, ekonomi kita jadikan sebagai pilot project, uji coba konsep. Yang kedua jadi titik masuk untuk meraka. Tadi itu supaya mereka cerdas, sadar. Mereka paham konsep Mabadi Khoiru Umah, ekonominya juga mengerti. Tidak boleh monopoli ada sering ada musyawarah menggunakan prinsip-prinsip Mabadi Khoiru Umah dalam artian aplikatif ya. Bukan normatif sehingga sebelum bergerak, seluruh petugas-petugas, relawan-relawan, atau kader NU di tingkat lapangan yang membangun program ini, pertama kali yang dilakukan adalah proses penyadaran mengenai khitah 26, Mabadi Khoiru Umah, NU ini mau kemana. Kalau NU itu nggak ada, itu perlu nggak? Mereka diberikan penyadaran begitu. Kalau sampeyan menjadi tugas proyek ya sudah selesai. Nggak ada bedanya dengan yang lain. Itu yang ditanamkan di program ini.

Menurut Lakpesdam, idealnya masyarakat NU secara kolektif maupun individu itu bagaimana?

Idealnya mereka yang bisa menikmati, bersama dengan masyarakat lain pembangunan. Yang kedua, atau tahap berikutnya, bisa berperan menjadi bagian dari peroses pembangunan. Jadi bukan hanya penikmat, tapi melakukan, turut serta dalam pembangunan.

Warga NU yang mengerti menjadi bukan hanya di tingkat nasional tapi di tingkat pedesaaan. Salah satu program ke arah itu namanya Forum Warga di beberapa desa. Forum Warga itu merupakan representasi dari kelomppok-kelompok petani, pedagang, ada di Cilacap, di Jepara, di Wonosobo. Bahkan di Cilacap itu sudah bisa melakukan diversifikasi kegiatan, sampai usaha-usaha mikro-finance; BMT dan mereka bisa memenuhi kebutuhannya antarmereka. Nyambung sekarang dengan program PNPM Pedulii ini.

Yang kedua mereka sudah masuk ke upaya untuk membangun warga NU dan masyarakat umum yang masuk sebagai tengaa kerja ke luar negeri. Dia masuk itu. Dia punya jaringan itu, punya pendidikan itu, untuk keluarga tenaga kerja itu dan punya akses dalam bentuk website, macam-macam. Kerjasamanya dengan yayasan Tifa di Jakarta. Dan mereka dianggap terbaik dalam melaksanakan program Tifa. Itu karena mereka sudah membangun forum warga bertahun-tahun. Nah, sekarang sudah ada organisasinya macam-macam di desa itu sehingga di desa itu, masyarakat NU-nya ngerti-ngerti. Mereka didampingi terus Lakpesdam Cilacap, termasuk di Jepara. Di situ ada orang NU, non-NU. Jadi satu. Karena mereka lebih bisa menerima NU kan.

Nah, itu bukti dari proses-proses pembangunan itu juga harus terlibat dari tingkat masyarakat. Tetapi jangkauan Lakpesdam itu terbatas, sehingga belum merata semua NU begitu.

Bisa disebutkan program-program sekarang terkait pemberdayaan?

Program-program Lakpesdam di antaranya, penguatan pemahaman ke-NU-an dengan menerbitkan jurnal Taswirul Afkar dan belajar Islam. Tujuannya untuk meningkatkan pemahaman warga Nahdliyyin terkait pemikiran keislaman ala NU; Menyebarkan pemahaman aswaja ke msyarakat luas.

Ada program Belajar Islam dengan tujuan menyebarkan ajaran Islam dalam prespektif fiqih, aqidah dan syariah ala Aswaja. Program ini disiarkan oleh saluran TV (MNC-Indovition), setiap hari Rabu, bergantian dengan anggota konsorsium lainnya; Yayasan Paramadina, Masyarakat pemirsa TVMNC Indovition. Telah disiarkan di TVMNC Indovition sebanyak 75 kali, dengan berbagai topik. Narasumber dari PBNU, Lakpesdam dan lembaga/lajnah yang terkait. Lalu ada program pemberdayaan ekonomi umat, penataan dan peningkatan kualitas pendidikan, pengembangan dan pelayanan kesehatan, pelayanan sosial dan kependudukan, perlindungan tenaga kerja dan buruh, penguatan jaringan kerja nasional dan internasional. (Red:Anam)
islam nusantara lakpesdam pekalongan lembaga nu pekalongan nu pekalongan ulama pekalongan

 

berikut ini beberapa buku referensi yang kami aanjurkan untuk dimiliki pemuda NU:

  • Copyright © LAKPESDAM PEKALONGAN™ is a registered trademark.
    Blogger Templates Designed by Templateism. Hosted on Blogger Platform.