IKLAN

Wednesday 15 August 2018

Filled Under: , , , , , ,

ngaji islam nusantara bersama : KH. Ahmad Baso

ansor pekalongan banser pekalongan islam rahmatal lil alamin lakpesdam pekalongan ngaji bareng KH ahmad baso ngaji islam nusantara nu pekalongan
Ngaji islam nusantara bersama : KH. Ahmad Baso
Islam seperti air. Air bila ia masuk ke dalam gelas, ia akan berbentuk gelas. Bila ia masuk ke dalam teko, ia akan berbentuk teko. Begitu pula Islam. Ia akan menyesuaikan terhadap budaya dimana ia singgah. Islam tidak seperti balok padat yang tetap menjadi balok walau ditaruh di manapun.<>

Bagian pertama buku Islam Nusantara ini disajikan dengan model dialog antara seorang Kiai Afid dan santrinya. Tujuan penulisnya, Ahmad Baso, agar mudah dipahami oleh pembaca tentang apa pesan yang ingin disampaikannya. Tentang mengapa harus ada Islam Nusantara, bagaimana ia lahir, tentang silsilah dan sanadnya, dan metodologi Islam Nusantara.

Ahmad Baso mendefinisikan Islam Nusantara dengan “cara bermazhab secara qauli dan manhaji dalam beristinbath tentang Islam dari dalil-dalilnya yang disesuaikan dengan teritori, wilayah, kondisi alam, dan cara penduduk mengamalkan.” (halaman 21)

Nahdlatul Ulama (NU) sejak dulu telah merepresentasikan Islam rahmatan lil ‘alamin melalui kegiatan-kegiatan keagamaan yang mulanya berasal dari budaya setempat. Islam Nusantara, sebagaimana diterangkan dalam buku Islam Nusantara ini, bukanlah subyek yang pasif, yang asal menerima apa saja yang datang dari Arab. Melalui kegiatan tahlil, shalawatan, halal bi halal, dan sebagainya, Islam Nusatara membuktikan bahwa Islam bisa dikemas dengan cara yang buka Arab.

Islam terlahir di Arab, kemudian menyebar ke seluruh dunia, tanpa terkecuali Indonesia. Setelah para penyebar Islam datang di Indonesia, mereka menyebarkannya dengan jalan perdamaian. Melalui jalan perdagangan, perkawinan, dan bukan dengan paksaan. Tidak seperti penyebaran Islam di daerah Eropa melalui penaklukan dan peperangan. 

Di masa Wali Songo pula, Islam tersebar dengan cara damai. Untuk menarik hati umat, Wali Songo lebih menampilkan sikap yang lemah lembut. Wali Songo selalu memanfaatkan budaya lokal sebagai sarana dakwah. Misalnya Sunan Kudus yang dengan arsitektur Menara Kudus dan pelarangan menyembelih sapi bisa membuat masyarakat Hindu bersimpati. Setelah mendapat perhatian dari orang-orang yang belum Islam, di situlah Wali Songo mudah dalam menjalankan dakwahnya.

Dalam kondisi sekarang, Islam tentu menghadapi masalah yang amat pelik. Di antaranya kisruh kekerasan dan jalan dakwah yang radikal. Kelompok-kelompok garis keras masih berkeliaran di muka bumi, terutama di Timur Tengah dengan nama -yang paling terkenal— ISIS. Cara dakwah yang sama sekali bertentangan dengan metode dakwah yang dipakai oleh Wali Songo ini justeru merusak citra Islam sendiri. 

Kemunculan kelompok Islam radikal di Indonesia mengganggu berjalannya Islam Nusantara yang dipegang teguh oleh umat muslim Indonesia. Banyak ijtihad ulama Islam Nusantara yang ternyata tidak ditemukan dalam kitab-kitab ulama klasik (salaf), apalagi dalam al-Qur’an dan Hadits. Bukan berarti ijthad ulama Nusantara meninggalkan dua asas Islam tersebut, bahkan bertentangan. Yang diambil oleh ulama Islam Nusantara adalah spirit Islam, bukan bentuk luar Islam itu sendiri. Maka, selama bentuk sebuah ibadah sulit diterapkan, budaya lokal yang akan mewadahinya.

Prinsip yang dipegang Islam Nusantara adalah prinsip al-muhafadhoh alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadid al ashlah, menjaga kesalehan yang dahulu dan mengambil hal baru yang lebih baik. Oleh karena itu, Islam Nusantara tidak menjadi kaku dan tetap mempunya ciri khas. Islam Nusantara tercermin dalam kehidupan di pondok pesantren, sebagai markas sesungguhnya Nahdlatul Ulama.

Jadi sudah seharusnya Islam menjadi air yang ketika ia menempati Nusantara, ia akan berbentuk sesuai wadahnya. Islam tidak boleh dipaksakan harus sesuai dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang zaman dahulu, pada masa Rasul atau setelahnya. Karena Islam itu salih li kulli zaman wa makan, patut di segala waktu dan tempat. 

Buku ini menjadi penting karena menjelaskan bahwa Islam Indonesia mempunyai sejarahnnya sendiri. Sejarah yang sama sekali berbeda dengan sejarah Islam di Arab dan negara-negara lain. Dengan melihat apa yang terjadi pada masa Wali Songo, sebelumnya, bahkan setelahnya, kita akan memahami proses meluasnya Islam di Indonesia sehingga menjadi negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia. ***


Judul : Islam Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Nusantara, Jilid I
Penulis : Ahmad Baso
Cetaka : I, Juli 2015 
Tebal : xxiii + 370 hlm
Penerbit : Pustaka Afid Jakarta
Peresensi : Hilmi Abdillah, mahasiswa Ma’had ‘Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
Islam seperti air. Air bila ia masuk ke dalam gelas, ia akan berbentuk gelas. Bila ia masuk ke dalam teko, ia akan berbentuk teko. Begitu pula Islam. Ia akan menyesuaikan terhadap budaya dimana ia singgah. Islam tidak seperti balok padat yang tetap menjadi balok walau ditaruh di manapun.<>

Bagian pertama buku Islam Nusantara ini disajikan dengan model dialog antara seorang Kiai Afid dan santrinya. Tujuan penulisnya, Ahmad Baso, agar mudah dipahami oleh pembaca tentang apa pesan yang ingin disampaikannya. Tentang mengapa harus ada Islam Nusantara, bagaimana ia lahir, tentang silsilah dan sanadnya, dan metodologi Islam Nusantara.

Ahmad Baso mendefinisikan Islam Nusantara dengan “cara bermazhab secara qauli dan manhaji dalam beristinbath tentang Islam dari dalil-dalilnya yang disesuaikan dengan teritori, wilayah, kondisi alam, dan cara penduduk mengamalkan.” (halaman 21)

Nahdlatul Ulama (NU) sejak dulu telah merepresentasikan Islam rahmatan lil ‘alamin melalui kegiatan-kegiatan keagamaan yang mulanya berasal dari budaya setempat. Islam Nusantara, sebagaimana diterangkan dalam buku Islam Nusantara ini, bukanlah subyek yang pasif, yang asal menerima apa saja yang datang dari Arab. Melalui kegiatan tahlil, shalawatan, halal bi halal, dan sebagainya, Islam Nusatara membuktikan bahwa Islam bisa dikemas dengan cara yang buka Arab.

Islam terlahir di Arab, kemudian menyebar ke seluruh dunia, tanpa terkecuali Indonesia. Setelah para penyebar Islam datang di Indonesia, mereka menyebarkannya dengan jalan perdamaian. Melalui jalan perdagangan, perkawinan, dan bukan dengan paksaan. Tidak seperti penyebaran Islam di daerah Eropa melalui penaklukan dan peperangan. 

Di masa Wali Songo pula, Islam tersebar dengan cara damai. Untuk menarik hati umat, Wali Songo lebih menampilkan sikap yang lemah lembut. Wali Songo selalu memanfaatkan budaya lokal sebagai sarana dakwah. Misalnya Sunan Kudus yang dengan arsitektur Menara Kudus dan pelarangan menyembelih sapi bisa membuat masyarakat Hindu bersimpati. Setelah mendapat perhatian dari orang-orang yang belum Islam, di situlah Wali Songo mudah dalam menjalankan dakwahnya.

Dalam kondisi sekarang, Islam tentu menghadapi masalah yang amat pelik. Di antaranya kisruh kekerasan dan jalan dakwah yang radikal. Kelompok-kelompok garis keras masih berkeliaran di muka bumi, terutama di Timur Tengah dengan nama -yang paling terkenal— ISIS. Cara dakwah yang sama sekali bertentangan dengan metode dakwah yang dipakai oleh Wali Songo ini justeru merusak citra Islam sendiri. 

Kemunculan kelompok Islam radikal di Indonesia mengganggu berjalannya Islam Nusantara yang dipegang teguh oleh umat muslim Indonesia. Banyak ijtihad ulama Islam Nusantara yang ternyata tidak ditemukan dalam kitab-kitab ulama klasik (salaf), apalagi dalam al-Qur’an dan Hadits. Bukan berarti ijthad ulama Nusantara meninggalkan dua asas Islam tersebut, bahkan bertentangan. Yang diambil oleh ulama Islam Nusantara adalah spirit Islam, bukan bentuk luar Islam itu sendiri. Maka, selama bentuk sebuah ibadah sulit diterapkan, budaya lokal yang akan mewadahinya.

Prinsip yang dipegang Islam Nusantara adalah prinsip al-muhafadhoh alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadid al ashlah, menjaga kesalehan yang dahulu dan mengambil hal baru yang lebih baik. Oleh karena itu, Islam Nusantara tidak menjadi kaku dan tetap mempunya ciri khas. Islam Nusantara tercermin dalam kehidupan di pondok pesantren, sebagai markas sesungguhnya Nahdlatul Ulama.

Jadi sudah seharusnya Islam menjadi air yang ketika ia menempati Nusantara, ia akan berbentuk sesuai wadahnya. Islam tidak boleh dipaksakan harus sesuai dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang zaman dahulu, pada masa Rasul atau setelahnya. Karena Islam itu salih li kulli zaman wa makan, patut di segala waktu dan tempat. 

Buku ini menjadi penting karena menjelaskan bahwa Islam Indonesia mempunyai sejarahnnya sendiri. Sejarah yang sama sekali berbeda dengan sejarah Islam di Arab dan negara-negara lain. Dengan melihat apa yang terjadi pada masa Wali Songo, sebelumnya, bahkan setelahnya, kita akan memahami proses meluasnya Islam di Indonesia sehingga menjadi negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia. ***


Judul : Islam Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Nusantara, Jilid I
Penulis : Ahmad Baso
Cetaka : I, Juli 2015 
Tebal : xxiii + 370 hlm
Penerbit : Pustaka Afid Jakarta
Peresensi : Hilmi Abdillah, mahasiswa Ma’had ‘Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jombang, Jawa Timur

taufiq abadi

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 comments:

Post a Comment

 

berikut ini beberapa buku referensi yang kami aanjurkan untuk dimiliki pemuda NU:

  • Copyright © LAKPESDAM PEKALONGAN™ is a registered trademark.
    Blogger Templates Designed by Templateism. Hosted on Blogger Platform.